Pengamat ITB beberkan alasan Teras Cihampelas Bandung sebaiknya dibongkar
Pengamat Tata Kota dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Frans Ari Prasetyo, menilai pembangunan Teras Cihampelas sejak awal merupakan hasil perencanaan yang keliru dan tidak sesuai dengan tata ruang Kota Bandung
Diberitakan sebelumnya, Wali Kota Bandung Muhammad Farhan menegaskan Teras Cihampelas akan dibongkar apabila hasil loading tes menunjukkan struktur bangunan tidak layak, setelah adanya getaran saat kegiatan senam. Hal ini memicu kekhawatiran soal keamanan.
Farhan menyebut keputusan pembongkaran akan diambil berdasarkan hasil uji teknis resmi, terlebih bangunan tersebut diketahui belum memiliki Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) dan Sertifikat Laik Fungsi (SLF).
Menurut Frans, berbagai persoalan Teras Cihampelas yang muncul saat ini merupakan konsekuensi logis dari kesalahan konsep, tujuan, hingga lokasi pembangunan.
Frans mengatakan, Teras Cihampelas tidak pernah tercantum dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bandung periode 2009–2031.
Meski RTRW telah diperbarui menjadi periode 2022–2044, keberadaan Teras Cihampelas tetap tidak tercantum secara eksplisit.
“Dari awal sudah sesat pikir perencanaan. Tidak ada di RTRW lama, tidak juga tertulis jelas di RTRW yang baru. Artinya, dari aspek rencana tata ruang saja sudah melanggar,” kata Frans, kepada Tribunjabar.id
Ia menambahkan, dalam Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kota Bandung pun tidak ada ketentuan yang mengamanatkan pembangunan infrastruktur berupa jembatan atau struktur berat di kawasan Cihampelas.
Dengan demikian, pembangunan Teras Cihampelas dinilai tidak memiliki dasar perencanaan spasial yang kuat.
Masalah berikutnya, menurut Frans, terletak pada konsep skywalk yang digunakan.
Ia menilai istilah dan penerapan skywalk pada Teras Cihampelas keliru secara teori maupun praktik.
“Skywalk itu seharusnya menghubungkan antargedung atau berfungsi seperti jembatan penyeberangan orang (JPO). Bukan dibangun memanjang sejajar jalan seperti ini. Dari istilah saja sudah salah kaprah,” tutur Frans.
Frans juga menyoroti klaim awal pembangunan Teras Cihampelas pada masa Wali Kota Bandung Ridwan Kamil yang disebut bertujuan mengurai kemacetan.
Menurutnya, Jalan Cihampelas merupakan jalan sekunder sehingga sejak awal klaim tersebut tidak berdasar.
“Faktanya setelah skywalk dibangun, kemacetan tidak juga hilang. Berarti ada yang salah dari tujuan pembangunannya,” kata Frans.
Selain itu, tujuan untuk mendorong masyarakat berjalan kaki dinilai tidak realistis.
Frans menyebut koridor Cihampelas merupakan kawasan wisata dan belanja, bukan jalur aktivitas harian masyarakat.
“Siapa yang mau berjalan kaki setiap hari di kawasan wisata belanja? Tujuannya tidak sesuai dengan karakter wilayah,” ucap Frans.
Akibat kesalahan perencanaan tersebut, pemerintah daerah saat ini menghadapi kesulitan dalam pengelolaan dan perawatan Teras Cihampelas.
Karena tidak masuk dalam rencana tata ruang, pembiayaan pemeliharaan menjadi tidak efisien dan tidak berkelanjutan.
“Pemerintah akhirnya harus melakukan konsolidasi anggaran hanya untuk perawatan. Ini tidak efektif, tidak efisien, dan tidak berkelanjutan. Hasilnya bisa kita lihat sekarang,” kata Frans.
Ia menilai beban anggaran tersebut kini harus ditanggung oleh pemerintah kota setelah kepemimpinan Ridwan Kamil.
Padahal, nilai manfaat yang dihasilkan Teras Cihampelas dinilai sangat kecil.
Frans juga menyinggung relokasi pedagang kaki lima (PKL) ke Teras Cihampelas yang disebut menghabiskan anggaran besar.
Total biaya pembangunan hingga tahap kedua disebut mendekati Rp70 miliar.
“PKL dipindahkan dengan anggaran besar, tapi kontribusinya apa? Tidak ada. Ini tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan,” ujarnya.
Dari sisi tata kota dan lingkungan, Frans menilai Teras Cihampelas merusak lanskap kawasan heritage Cihampelas yang sejak 1970-an dikenal sebagai kawasan pedestrian shopping.
Ia juga menyoroti dampak ekologis akibat pembangunan infrastruktur berat di kawasan tersebut.
“Bandung dibebani infrastruktur berat yang mengganggu sistem ekologis. Daya serap air berkurang drastis,” katanya.
Ia mengingatkan bahwa kawasan Cihampelas berada di wilayah patahan Lembang yang memiliki risiko tinggi terhadap pergeseran tanah.
Menurutnya, pembangunan infrastruktur berat di kawasan tersebut tidak direkomendasikan.
“Wilayah ini rawan. Infrastruktur berat sangat berisiko dan ternyata tetap dipaksakan,” kata Frans.
Terkait wacana pembongkaran Teras Cihampelas, Frans menyatakan langkah tersebut perlu dilakukan, namun harus tetap mematuhi aturan dan prosedur administrasi yang berlaku.
“Pembongkaran infrastruktur publik juga harus sesuai aturan. Jangan sampai pembongkarannya justru melanggar hukum,” katanya.
Sebagai alternatif, Frans menyarankan penataan ulang kawasan Cihampelas tanpa skywalk.
Ia mengusulkan konsep perluasan jalur pedestrian di permukaan jalan, disertai penataan ulang dan revitalisasi bangunan komersial, seperti konsep kawasan Orchard Road di Singapura.
“Jalannya tetap ada, tapi pedestrian diperluas dan kawasan belanjanya ditata ulang. Bukan membangun skywalk,” imbuh Frans.
Ia menegaskan, skywalk seharusnya dibangun di lokasi dengan kepadatan lalu lintas tinggi dan kebutuhan penyeberangan besar, seperti persimpangan utama dengan arus kendaraan cepat.
“Skywalk berfungsi untuk memudahkan penyeberangan, bukan untuk pariwisata. Kalau hanya pariwisata dan tidak menghasilkan nilai ekonomi yang sebanding, akhirnya jadi infrastruktur tidak berguna,” kata Frans.
Menurutnya, nilai pendapatan asli daerah (PAD) yang dihasilkan Teras Cihampelas tidak signifikan jika dibandingkan dengan biaya perawatan tahunan dan risiko kerusakan bangunan akibat karat dan faktor lingkungan. (*)


0 Response to "Pengamat ITB beberkan alasan Teras Cihampelas Bandung sebaiknya dibongkar"
Posting Komentar