Ruang demonstrasi sebagai kanal minim risiko penyampaian aspirasi
Aksi unjuk rasa di gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, akhir Agustus 2025 memberi pelajaran besar mengenai perlunya mengelola aksi protes rakyat agar tidak menimbulkan masalah.
Aksi unjuk rasa itu berakhir rusuh yang salah satunya disebabkan oleh begitu banyaknya peserta dan luasnya arena yang digunakan oleh rakyat saat menyampaikan aspirasi, sehingga petugas kepolisian kesulitan untuk mengatur agar kegiatan itu tetap berlangsung damai.
Melihat eskalasinya yang semakin meningkat, banyak kalangan yang khawatir, kerusuhan itu akan mengulang peristiwa 1998 yang awalnya merupakan unjuk rasa mahasiswa yang menuntut pemimpin Orde Baru untuk mundur, tapi kemudian berakhir dengan kerusuhan, pembakaran sejumlah gedung dan fasilitas umum.
Apalagi, lokasi unjuk rasa, kala itu bukan hanya di gedung DPR RI, melainkan merembet ke berbagai daerah, seperti Surabaya, Makassar, dan lainnya. Beruntung, pada unjuk rasa di akhir Ahustus 2025 itu, pemerintah berhasil meredakan suasana dan para pengunjuk rasa kembali ke rumahnya masing-masing.
Melihat situasi itu, Menteri Hak Asasi Manusia Natalius Pigai melontarkan gagasan agar rakyat disediakan ruang demonstrasi di berbagai instansi yang memiliki halaman luas, seperti di halaman gedung DPR RI.
Gagasan yang bertujuan untuk memperkuat praktik demokrasi secara substantif itu merupakan ide yang perlu mendapat perhatian agar kasus-kasus aksi yang berujung rusuh tidak terulang. Ruang itu akan menjadi arena yang efektif untuk proses dialog elegan dan nyaman antara rakyat dengan pemerintah.
Dengan menyediakan lokasi khusus berekspresi bagi warga, maka ruang demonstrasi itu akan menjadi kanal bagi rakyat untuk menyampaikan ketidaksetujuan mereka terhadap satu kebijakan yang diputuskan oleh pemerintah, sekaligus menjadi tempat bagi wakil rakyat untuk mendengarkan hal yang menjadi kehendak dan keluhan pemilik utama negeri ini.
Dari sisi keamanan, penyediaan ruang demonstrasi ini memudahkan aparat negara untuk betul-betul menjaga agar aksi-aksi unjuk rasa tetap berlangsung aman. Kemungkinan adanya penyusup yang ingin mengeruk keuntungan dari situasi rusuh akan diminalkan, karena ruang gerak semua yang datang akan lebih mudah terpantau.
Fasilitas ruang demonstrasi ini juga akan membantu aparat kepolisian agar tidak terus menerus terjebak dalam situasi seperti memakan buah simalakama dalam menghadapi massa yang hendak menyampaikan aspirasinya.
Demikian juga dengan ketertiban masyarakat, keberadaan ruang demonstrasi bisa menghindarkan aksi mereka dari mengganggu arus lalu lintas dan kenyamanan masyarakat lainnya, sehingga semua kepentingan masyarakat dapat berjalan, tanpa gangguan kemacetan, termasuk kemungkinan timbulnya aksi rusuh yang meresahkan.
Sebagaimana kejadian pada aksi-aksi warga dalam jumlah besar, biasanya aktivitas penyampaian aspirasi itu sangat mengganggu kenyamanan pengguna lalu lintas, apalagi jika keadaan tidak nyaman tersebut memang "disegaja" dan dijadikan strategi oleh para demonstran untuk menekan pihak-pihak penentu kebijakan agar segera menyetujui aspirasi mereka.
Pada situasi seperti inilah potensi kekacauan terjadi. Ketika aksi unjuk rasa berlangsung beberapa hari dan para pemimpin di lembaga yang dituju tidak mau menemui atau mendengarkan aspirasi, pengunjuk rasa cenderung terbawa marah, sehingga rusuh tidak terhindarkan. Dengan segala risikonya, pengunjuk rasa akan mencari perhatian dengan melakukan aksi yang berujung pada keadaan kacau
Tradisi lama
Jika berkaca pada perjalanan sejarah bangsa ini, demonstrasi damai untuk memprotes kebijakan pemerintah bukan hal baru. Pada zaman kerajaan, dulu, masyarakat Jawa mengenal istilah "tapa pepe" atau berjemur di terik Matahari, dengan mengambil lokasi di alun-alun keraton yang memang difasilitasi oleh penguasa atau raja.
Aksi "tapa pepe" itu biasanya berjalan efektif karena raja merespons dan melaksanakan apa yang menjadi kemauan rakyatnya itu.
0 Response to "Ruang demonstrasi sebagai kanal minim risiko penyampaian aspirasi"
Posting Komentar